Awal tahun ini kita begitu dikejutkan dengan berita pemutusan hubungan kerja
yang dikarenakan adanya penutupan beberapa pabrik besar yang selama ini kita
tahu telah menyerap banyak tenaga kerja. Berita sedih itu begitu mempengaruhi
orang banyak, tidak saja mereka yang berada di perusahaan tersebut, tetapi juga
kita semua yang mungkin berada di bisnis yang berbeda karena mengkhawatirkan
buruknya kondisi ekonomi yang mungkin terjadi.
Kita melihat bahwa kondisi ekonomi belakangan ini memang berada dalam situasi
yang tidak terlalu menggembirakan. Harga minyak terus-menerus berada dalam
posisi terbawah dalam sejarah. Daya beli masyarakat juga menurun. Kita mengerti
bahwa biaya terbesar yang perlu ditanggung oleh perusahaan adalah biaya sumber
daya manusia. Karenanya, bila situasi keuangan perusahaan sedang sulit, secara
otomatis efisiensi langsung mengarah ke angka biaya SDM.
Kita terkadang lupa akan “ongkos” PHK yang tidak terukur secara kasatmata
seperti menurunnya spirit karyawan yang tersisa. Mereka dituntut untuk
bekerja multitasking menutup jabatan yang kosong, padahal mental mereka
pun sedang jatuh dipenuhi dengan rasa waswas dan takut, mengkhawatirkan
kapankah giliran mereka. Alih-alih mengembalikan kondisi keuangan ke arah yang
sehat pasca-PHK, bisa-bisa malah semakin memperburuk situasi yang terjadi.
Bagaimana perusahaan bisa menjaga kualitas pekerjaan secara profesional untuk
bangkit dari keterpurukan bilamana ‘mesin produksinya’ sudah tidak lagi
berfungsi secara optimal. PHK mungkin memang perlu dilakukan bilamana kita
sudah terlanjur merekrut karyawan yang tidak bisa dikembangkan, mau seenaknya
saja dan menyebarkan aura negatif. Tidak ada salahnya kita memangkasnya agar
yang tersisa hanyalah karyawan yang benar-benar berkontribusi secara positif.
Ketika Amerika mengalami resesi yang menghantam bisnis penerbangan, hanya ada
satu perusahaan yang dengan yakin menyatakan tidak akan mengadakan PHK di
perusahaan tersebut. Sampai saat ini pun, Southwest Airlines dikenal sebagai
perusahaan yang tidak pernah melakukan PHK. Dari awal masa krisis, Herb
Kelleher sudah meyakinkan karyawannya bahwa Southwest tidak akan melakukan PHK,
tetapi setiap karyawan harus bekerja ekstra keras. Demi efisiensi, Kelleher
berinisiatif untuk menjual salah satu pesawatnya. Semua rute pesawat dijalankan
seperti biasa hanya dengan mengoperasikan 3 pesawat yang tersisa.
Bagaimana mereka dapat melakukan ini? Waktu parkir pesawat dipangkas lebih
cepat, antrean diperbaiki, manajemen tempat duduk di buat lebih praktis.
Penumpang diberi informasi mengenai perubahan manajemen waktu ini. Mereka malah
berpartisipasi dan ikut ‘bermain’ dalam upaya efisiensi ini. Bahkan, ketika
bisnis sudah mulai membaik, waktu parkir pesawat Southwest selama 23 menit
tetap yang tercepat, hampir separuh dari waktu parkir pesawat lain. Sekarang
Southwest merupakan perusahan penerbangan nasional terbesar di Amerika. Pesawat
yang berjumlah 4 buah, sekarang sudah berkembang menjadi 500, yang
menghubungkan 64 kota di Amerika dan dilayani oleh 34.000 karyawan
Memotong ongkos tidak sama dengan upaya “survival”
Istilah-istilah manajemen sumber daya manusia seperti downsizing,
right-sizing, atau restructuring sungguh perlu dipertimbangkan.
Dengan PHK kita ibarat mengamputasi anggota tubuh yang sangat penting, dan
menyisakan bagian tubuh lain untuk bertahan hidup. Alangkah tragisnya. Kita
sering lupa pada tujuan kita menjalankan bisnis. Mengapa kita merekrut
karyawan, memperbesar jumlah karyawan? Banyak pengusaha enggan memikirkan awal
cerita perekrutan ini ketika biaya SDM menekan. Apakah kita memang mau menjaga
agar perusahaan tetap going concern? Apakah kita tidak belajar dari
krisis-krisis yang lalu bahwa masa down ini akan berakhir dan kemudian
muncul matahari kecerahan pasar baru? Apakah tidak terlambat ketika pasar sudah
menantang, kita baru mulai merekrut baru, dan mendidik karyawan baru?
Ini masalah keyakinan
Sebenarnya secara kasat mata kita bisa membedakan perusahaan yang memiliki
keyakinan akan pentingnya sumber daya manusianya dengan yang tidak. Letak
perbedaannya ada pada keyakinan pimpinannya, dan small talks yang beredar di
seputar perusahaan. Secanggih-canggihnya bisnis perusahaan, bila manajemen
tidak menghargai manusia sebagai sumber daya yang bisa bertenaga dan hidup
bahkan berkapasitas ekstra, kita tidak bisa berharap banyak terhadap
pengembangan SDM-nya.
Banyak pimpinan yang sebenarnya meyakini bahwa sekali kita melakukan PHK, sulit
bagi kita melenting kembali. Pertama-tama, karena biasanya tenaga-tenaga yang
baik pun akan bersiap untuk pergi. Kedua, bisa jadi yang tertinggal adalah
individu yang kurang berinisiatif. Jadi, apakah PHK meningkatkan laba? Apakah
PHK bisa menyelamatkan perusahaan? Apakah kita bisa membangun loyalitas dan
tidak kehilangan kredibilitas? Lebih baik kita memikirkan bagaimana memotong
ongkos lain, dengan staf yang berspirit kuat untuk meningkatkan mutu mereka
masing-masing. Herb Kelleher menyatakan, dan sudah membuktikan: “The facts
seem clear. Layoffs are mostly bad for companies, harmful for the economy, and
devastating for employees”.
Eileen Rachman &
Emilia Jakob
EXPERD
Character Building Assessment & Training