Jumat, 18 Maret 2016

PHK

Awal tahun ini kita begitu dikejutkan dengan berita pemutusan hubungan kerja yang dikarenakan adanya penutupan beberapa pabrik besar yang selama ini kita tahu telah menyerap banyak tenaga kerja. Berita sedih itu begitu mempengaruhi orang banyak, tidak saja mereka yang berada di perusahaan tersebut, tetapi juga kita semua yang mungkin berada di bisnis yang berbeda karena mengkhawatirkan buruknya kondisi ekonomi yang mungkin terjadi. 

Kita melihat bahwa kondisi ekonomi belakangan ini memang berada dalam situasi yang tidak terlalu menggembirakan. Harga minyak terus-menerus berada dalam posisi terbawah dalam sejarah. Daya beli masyarakat juga menurun. Kita mengerti bahwa biaya terbesar yang perlu ditanggung oleh perusahaan adalah biaya sumber daya manusia. Karenanya, bila situasi keuangan perusahaan sedang sulit, secara otomatis efisiensi langsung mengarah ke angka biaya SDM.

Kita terkadang lupa akan “ongkos” PHK yang tidak terukur secara kasatmata seperti menurunnya spirit karyawan yang tersisa. Mereka dituntut untuk bekerja multitasking menutup jabatan yang kosong, padahal mental mereka pun sedang jatuh dipenuhi dengan rasa waswas dan takut, mengkhawatirkan kapankah giliran mereka. Alih-alih mengembalikan kondisi keuangan ke arah yang sehat pasca-PHK, bisa-bisa malah semakin memperburuk situasi yang terjadi.

Bagaimana perusahaan bisa menjaga kualitas pekerjaan secara profesional untuk bangkit dari keterpurukan bilamana ‘mesin produksinya’ sudah tidak lagi berfungsi secara optimal. PHK mungkin memang perlu dilakukan bilamana kita sudah terlanjur merekrut karyawan yang tidak bisa dikembangkan, mau seenaknya saja dan menyebarkan aura negatif. Tidak ada salahnya kita memangkasnya agar yang tersisa hanyalah karyawan yang benar-benar berkontribusi secara positif.

Ketika Amerika mengalami resesi yang menghantam bisnis penerbangan, hanya ada satu perusahaan yang dengan yakin menyatakan tidak akan mengadakan PHK di perusahaan tersebut. Sampai saat ini pun, Southwest Airlines dikenal sebagai perusahaan yang tidak pernah melakukan PHK. Dari awal masa krisis, Herb Kelleher sudah meyakinkan karyawannya bahwa Southwest tidak akan melakukan PHK, tetapi setiap karyawan harus bekerja ekstra keras. Demi efisiensi, Kelleher berinisiatif untuk menjual salah satu pesawatnya. Semua rute pesawat dijalankan seperti biasa hanya dengan mengoperasikan 3 pesawat yang tersisa.

Bagaimana mereka dapat melakukan ini? Waktu parkir pesawat dipangkas lebih cepat, antrean diperbaiki, manajemen tempat duduk di buat lebih praktis. Penumpang diberi informasi mengenai perubahan manajemen waktu ini. Mereka malah berpartisipasi dan ikut ‘bermain’ dalam upaya efisiensi ini. Bahkan, ketika bisnis sudah mulai membaik, waktu parkir pesawat Southwest selama 23 menit tetap yang tercepat, hampir separuh dari waktu parkir pesawat lain. Sekarang Southwest merupakan perusahan penerbangan nasional terbesar di Amerika. Pesawat yang berjumlah 4 buah, sekarang sudah berkembang menjadi 500, yang menghubungkan 64 kota di Amerika dan dilayani oleh 34.000 karyawan

Memotong ongkos tidak sama dengan upaya “survival”

Istilah-istilah manajemen sumber daya manusia seperti downsizing, right-sizing, atau restructuring sungguh perlu dipertimbangkan. Dengan PHK kita ibarat mengamputasi anggota tubuh yang sangat penting, dan menyisakan bagian tubuh lain untuk bertahan hidup. Alangkah tragisnya. Kita sering lupa pada tujuan kita menjalankan bisnis. Mengapa kita merekrut karyawan, memperbesar jumlah karyawan? Banyak pengusaha enggan memikirkan awal cerita perekrutan ini ketika biaya SDM menekan. Apakah kita memang mau menjaga agar perusahaan tetap going concern? Apakah kita tidak belajar dari krisis-krisis yang lalu bahwa masa down ini akan berakhir dan kemudian muncul matahari kecerahan pasar baru? Apakah tidak terlambat ketika pasar sudah menantang, kita baru mulai merekrut baru, dan mendidik karyawan baru?

Ini masalah keyakinan 

Sebenarnya secara kasat mata kita bisa membedakan perusahaan yang memiliki keyakinan akan pentingnya sumber daya manusianya dengan yang tidak. Letak perbedaannya ada pada keyakinan pimpinannya, dan small talks yang beredar di seputar perusahaan. Secanggih-canggihnya bisnis perusahaan, bila manajemen tidak menghargai manusia sebagai sumber daya yang bisa bertenaga dan hidup bahkan berkapasitas ekstra, kita tidak bisa berharap banyak terhadap pengembangan SDM-nya.

Banyak pimpinan yang sebenarnya meyakini bahwa sekali kita melakukan PHK, sulit bagi kita melenting kembali. Pertama-tama, karena biasanya tenaga-tenaga yang baik pun akan bersiap untuk pergi. Kedua, bisa jadi yang tertinggal adalah individu yang kurang berinisiatif. Jadi, apakah PHK meningkatkan laba? Apakah PHK bisa menyelamatkan perusahaan? Apakah kita bisa membangun loyalitas dan tidak kehilangan kredibilitas? Lebih baik kita memikirkan bagaimana memotong ongkos lain, dengan staf yang berspirit kuat untuk meningkatkan mutu mereka masing-masing. Herb Kelleher menyatakan, dan sudah membuktikan: “The facts seem clear. Layoffs are mostly bad for companies, harmful for the economy, and devastating for employees”.


Eileen Rachman & Emilia Jakob
EXPERD
Character Building Assessment & Training