Jumat, 24 Juni 2016

Antara Dilan 1990 dan Dilan 1991



DILAN 1990
Akhirnya aku udah baca novelnya Pidi Baiq yang judulnya Dilan. Hmm kata aku sih biasa aja ya hehe maaf Om Pidi. Gembar gembor yang aku dengar sebelum baca, membuat aku punya ekspektasi yang tinggi terhadap novel ini. Aku akui novel ini memang bagus, tapi tidak se wah yang aku bayangkan hehe. Sepertinya, siapapun yang membaca novel ini akan jatuh cinta pada Dilan, tokoh utama pria yang diceritakan oleh Milea selaku pemeran utama disini. Sosok Dilan digambarkan nyaris sempurna. Dia baik, romantis dengan caranya, sangat melindungi Milea dan pintar, meski masuk anggota geng motor.  Kata-kata yang dikeluarkan Dilan pun sangat menggugah hati. Tapi kemudian kebanyakan orang, termasuk saya, mulai berpikir, adakah lelaki seperti ini di dunia nyata? Membaca novel Dilan seperti menonton drama Korea, dimana sang lelaki digambarkan sangat sempurna. Dan hmm aku tidak suka Milea dalam cerita ini, karena menurutku terlalu agresif (habis ini aku dilabrak para pencinta novel Dilan nih kayaknya hehe). Dan saat membaca novel ini, aku berpikir.. cerita ini terjadi di tahun 1990 (tahun kelahiranku, tepatnya 26 tahun yang lalu). Yang aku pikirkan adalah apakah pada jaman itu, anak SMA sudah se-berani itu dalam menunjukkan rasa cinta? Maksudku yang kutau, orang jaman dulu yang namanya ngobrol sama lawan jenis yang disuka aja malu-malu. Apakah ada yang seperti Dilan dan Milea dalam menunjukkan rasa cinta?Gapapa ya aku beranggapan seperti ini? Tulisan aku ini memang subjektif sekali tampaknya hehe.. tapi secara garis besar, aku suka ko novel ini. Gaya penulisan Pidi Baiq yang aku rasa agak aneh, apalagi pas di awal-awal, tapi makin lama seru ko. Apalagi aku emang salah satu penggemar quote-quote nya Pidi Baiq, karena bahasanya yang sederhana tapi maknanya dalem dan punya ciri khas sendiri. Satu lagi yang aku suka dari novel ini adalah banyak gambarnya. Jadi kita seakan-akan membayangkan kehidupan Milea dan Dilan secara lebih nyata.
DILAN 1991
Banyak yang bilang, jika sudah membaca Dilan 1990, maka akan merasa bosan dengan Dilan 1991. Intinya banyak yang lebih suka Dilan 1990. Tapi aku sebaliknya. Aku merasa Dilan 1991 lebih rame dari Dilan 1990. Karena aku merasa lebih banyak konflik yang ada di buku lanjutan Dilan ini. Jika di Dilan 1990 hanya menceritakan bagaimana Dilan merebut hati Milea (dan berhasil kemudian mereka berbahagia), maka di Dilan 1991 ini lain. Di Dilan 1990, konflik yang aku rasa sedikit greget hanya pada saat Beni melabrak Milea. Itu saja. Konflik yang lain rasanya hanya sebagai bumbu penyedap cerita cinta mereka yang ga ada apa-apanya. Tapi di Dilan 1991, ada hal-hal lain di luar kisah cinta romantis mereka berdua.

Di buku Dilan 1991 ini, awalnya membosankan, menceritakan antara Dilan dan Milea. Kemudian banyak hal mengejutkan yang terjadi seperti Dilan terlibat perkelahian, Dilan dipenjara, temannya meninggal sampai akhirnya Dilan dan Milea putus. Mereka berdua melanjutkan hidup masing-masing.

Saat membaca novel yang pertama, bahkan saat sedang membaca yang kedua, aku sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada akhirnya mereka akan putus, apalagi dengan cara seperti itu. Jalan ceritanya sungguh tidak tertebak. Sebenarnya aku sudah mengira bahwa pada akhirnya Milea dan Dilan tidak bersama, tapi aku pikir tidak seperti itu jalannya.

Pada akhirnya aku mulai paham mengapa novel ini booming sekali. Pidi baiq mampu membuat seakan-akan cerita ini adalah kisah nyata. Sampai sekarang, aku masih berpikir, kira-kira Dilan sekarang hidupnya gimana yaa? Aku betul-betul berpikir kalau ini adalah kisah nyata haha (meski aku tidak tau ini kisahnyata apa bukan). Maksudku seakan-akan ini adalah kisah nyata yang dialami pidi baiq, tapi ga mungkin karena pidi baiq adalah laki-laki dan tokoh utama dalam cerita adalah perempuan.

Cerita ini sebenarnya sederhana dan ringan, tapi pidi baiq mampu mengemasnya menjadi sebuah tulisan yang “ngena”, karena sebenarnya yang dituliskannya itu sudah sering terjadi di kehidupan nyata. Ditambah lagi lokasinya di kota bandung, kota dimana aku tinggal sekarang. Harus kuakui, bandung itu setiap sudutnya seakan bercerita, tiap sudutnya memiliki makna.

duamaretduaribuenambelas