Kamis, 26 April 2012

:9

Menurutku, tidak ada buah selezat durian, dan tidak ada juice seenak juice alpukat..

*potingan ga penting haha
duapuluhenamaprilduaribuduabelas

Bergerak !!

Bismillah..
Ayo ah kalo ga BERGERAK ya ga akan JALAN..
Mau sampe kapan??

-_______-"

duapuluhenamaprilduaribuduabelas

Senin, 23 April 2012

~~~

Memang betul ya, bahwa manusia itu tidak ada puasnya. Akhir-akhir ini saya sering merasa iri dengan orang lain. Saya iri sama teman saya yang dapet beasiswa belajar ke luar negeri, saya iri sama temen saya yang udah lulus kuliah, saya iri sama temen saya yang ibadahnya bagus, rajin solat malam dan solat dhuha, iri sama temen saya yang calon pasangannya tidak merokok, iri sama orang yang udah dapet pengalaman kerja semasa kuliah, iri sama orang yang ga mudah sakit, iri sama orang yang gampang curhat, iri sama orang yang jago bahasa Inggris, sampai pada hal iri sama orang yang bisa masak ikan tanpa gosong.

Saya iri sama kelebihan orang-orang yang mungkin sebenarnya kelebihan itu juga saya punya, hanya saja saya kurang bisa mengoptimalkannya. Kadang-kadang saya berpikir ada bagusnya juga saya iri ini itu, setidaknya untuk memotivasi saya agar lebih baik. Tapi kadang-kadang saya merasa capek juga, merasa bersalah pada Allah kenapa saya tidak bersyukur saja dengan apa-apa yang saya miliki saat ini. Kenapa saya tidak melihat kelebihan yang saya punya, setidaknya bisa membuat saya lebih bersyukur. Kini, bertambah lagi objek iri saya. Saya juga iri pada orang-orang yang pandai bersyukur. Apakah saya kurang bersyukur selama ini? Tapi, saya manusia biasa juga, toh? Yang kadang-kadang melihat ke atas ketika berjalan dan menikmati keindahan di atas sana. Saya berpikir, setidaknya jika keirian saya selama ini bisa memicu saya untuk bisa lebih baik lagi, kenapa tidak? Mungkin saya hanya perlu sedikit mengubahnya menjadi penyemangat saya untuk menjadi lebih baik. Bukankah Allah menganjurkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan? Kalau saya cepat puas bukankah itu artinya sombong? Saya jadi merasa cepat puas kemudian menjadi lalai dan tidak lagi berusaha, padahal hidup terus berjalan dan kesempatan menajdi lebih baik itu selalu ada. Jadi intinya, mungkin saya hanya perlu membawa rasa iri saya ini menjadi pemicu saya agar berusaha lebih baik lagi, dengan catatan, saya harus tetap bersyukur dengan apa-apa yang Allah berikan pada saya selepas saya berusaha. 

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ”
QS Ar-Ra'du :11

sembilanaprilduaribuduabelas

Kamis, 19 April 2012

Copas*semoga bermanfaat :)

Sebagian Alasan Kenapa Dokter Dokter Di Negara Maju "pelit" Kasih Obat ke Anak yg Sakit

** Dimana Salahnya?**

Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku ...tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.

Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.

"Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu.

"Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?" batinku meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.

"Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.
"Actually that is not necessary if the fever below 40 C."

Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.
Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.

"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"

Aku mengangguk. "Ibuprofen syrup Dok," jawabku.

Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.
Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.

"Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!"

Suamiku menimpali, "Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?"
Aku menarik napas panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"

Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat. Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!

Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.

"Just drink a lot," katanya ringan.

Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.

"Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.

"This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.

Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.
"Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," kataku ngeyel.

Dengan santai si dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq."
Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.

"Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.

Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.

"Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok.?

Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,"Nothing to worry. Just a viral infection."

Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal.

"Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku ngeyel seperti biasa.

Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how many times normally children get sick every year?"

Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal.

"Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.
Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.

Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini: "Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun." Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.

"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya," Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.

Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun."

Hwaaaa! Rupanya ini lah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda 'dipaksa' tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.

Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata 'pengobatan rasional'. Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm... kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. "Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe," kataku pada suamiku.

Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif 'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!

Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja.

Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.

Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

Dikutip dari buku "Smart Patient" karya dr. Agnes Tri Harjaningrum

buat kita semua : mungkin ga perlu sedikit2 minum obat kali yaa.. Kalo pusing dikit, jangan buru2 minum panad*ol, mending tidur aja. Mungkin kita pusing karena kurang istirahat. Kalo flu jangan buru2 minum pr*ocold, kalo batuk juga sama. Mending minum madu, karena katanya bagaimanapun obat mengandung bahan kimia yang sedikit banyaknya pasti ngaruh kurang baik ke tubuh untuk jangka panjang. Mending minum madu hehehehe.
Sekian
duapuluhaprilduaribuduabelas

Senin, 09 April 2012

Bisnis Apaa?

Aku pengen bisinis, tapi bisnis apa yaa.. Lagi pengen jualan, tapi jualan apa yaa.. hhee..
Dulu aku pernah jualan pulsa, sekitar 2 tahun lebih. Tapi berhenti di tengah jalan karena aku ga rapi ngurus masalah keuangan dan ga tegas untuk nagihin pembayaran ke beberapa teman. Jadilah aku gulung tikar. Bukan salah temen-temen aku juga sih, yang jelas akunya aja yang kurang bisa profesional saat itu. Sekarang pengen mulai lagi tapi kalo dipikir-pikir, dulu aja yang selalu ketemu tiap hari di kampus pas kuliah aku masih kesusahan, apalagi sekarang ya yang udah pada masing-masing dan jarang banget ketemu temen-temennya..
Hmm... Apa dong apa dongg..
*naon sih.
zzzzz

sepuluhmaretduaribuduabelas

Ganti Template (lagi V)

Hai hai..
Aku ganti template blog lagi..
Yang ini lebih dewasa kaann dibandingkan sebelumnya..

Semoga turut serta membawa kedewasaan pula untukku.. *loh. hehehe..

sembilanaprilduaribuduabelas

Pekerjaan yang Menyenangkan hehe

Menurutku, pekerjaan yang paling bikin orang pinter itu, bukan peneliti, bukan dokter, bukan psikolog (hehe), bukan juga guru ataupun dosen tetapi pembawa acara berita hehe.. Yaa.. Kenapa pembawa acara berita? Soalnya, aku mikirnya gini.. Pembawa acara berita itu harus ngebacain berita setiap hari soal apa aja. Bukan cuma soal satu bidang tapi semua bidang. Mulai dari politik, berita dalam dan luar negeri,mulai dari berita artis, pemimpin sampai rakyat di belahan bumi mana saja. Pembawa berita membacakan berita setiap harinya dan mengikuti perkembangan dunia, tentu saja dia menjadi pintar. Lain halnya dengan profesor misalnya. Sang profesor hanya menguasai satu bidang saja yaitu bidang yang berhubungan dengan penelitiannya. Itu menurutku hehehe..

Sekarang pekerjaan yang paling enak, lagi-lagi menurutku hehehe.. Yaitu.. host acara jalan-jalan di TV. Sekarang kan banyak tuh acara jalan-jalan di televisi. Sebut saja, jejak petualang salah satunya*gapapa lah yaa nyebut merek hehe.. Setiap aku nonton itu, rasanya kalo dibayangin enak yah kerja kayak gitu.. Kita bisa jalan-jalan ke tempat yang belum pernah kita datengin sebelumnya. Beruntung kalo dapet tempat yang enak(apalagi jalan-jalannya ke luar negeri). Selain jalan-jalan gratis, kita juga dibayar. Enaak yah hehehe..

Kedua pekerjaan di atas sepertinya berasal dari Fikom yahh, bukan dari Psikologi hahhaa. Tapi walaupun begitu, aku sama sekali ga nyesel masuk Psikologi. Aku juga tidak merasa salah jurusan hehehe.. Setiap jurusan punya kelebihan dan keunikan tersendiri. Dan setiap orang punya minatnya masing-masing. InsyaAllah minatku di Psikologi :)

Sekian tulisan kali ini..
Babay.
*geje
sembilanaprilduaribuduabelas

Minggu, 08 April 2012

Sakit itu ga enaak :(

Ini bukan kali pertama aku dirawat di rumah sakit. Ya, ini adalah yang kedua kalinya, setelah sebelumnya aku juga pernah dirawat di rumah sakit dengan sebab yang sama, yaitu demam berdarah. Dulu, waktu aku kelas satu SD, aku harus dirawat di rumah sakit karena demam berdarah selama satu minggu. Tetapi yang ini terasa lebih menyiksa.

Sebenarnya, setelah diingat-ingat, aku memang sudah merasa tidak enak badan seminggu sebelum dirawat. Tapi aku mengabaikannya, dan merasa mungkin hanya karena kecapean. Saat itu aku hanya memilih mengonsumsi vitamin C. Kebetulan minggu itu cukup sibuk *sibuk bermain hahaha.. Senin dan Selasa ada pesantren di aula, dari pagi sampai menjelang sore. Hari Rabunya, aku dan teman satu kelompok  bolak-balik Fakultas Hukum untuk keperluan tugas. Jarak antara fakultas Hukum dan kampus utama tidak terlalu jauh sebenarnya, tapi aku sudah merasa lelah dan lagi-lagi merasa tidak sadar diri. Aku pikir, mungkin itu hanya karena saat itu siang hari, udara sedang panas dan wajar saja kalau aku kelelahan. Sorenya, aku malah main ke PVJ sama Lita, Ayy2 dan Tari, sampai malam. Jam setengah 8 aku baru sampai rumah, malem-malem pulang dengan mengendarai motor.hahaha.. Kamisnya, aku balik lagi ke fakultas hukum bersama Anggi dan Laras. Kali ini tidak lama, karena kami hanya perlu mengobservasi sebentar. Sebelum tengah hari kami sudah selesai dan memutuskan untuk ke BIP. Setelah jalan-jalan bersama Anggi dan Laras di BIP, aku pun melanjutkan main dengan Deffi, masih di tempat yang sama yaitu BIP. Sampai sore, aku baru pulang setelah sebelumnya mengambil motor di kampus dan aku pun lagi-lagi pulang dengan mengendarai motor. Dan sebelum pulang aku menyempatkan diri ke Griya untuk membeli beberapa perlengkapan yang diperlukan untuk pesantren di Ciburial keesokan harinya.. Menjelang magrib aku tiba di rumah.

Dan keesokan harinya, Jumat.. Jeng jengg.. Bangun tidur pagi badan aku ngilu semuanya. Sampai siang badan aku rasanya dingin, seperti meriang. Aku tanya sama Dila, apakah dia merasa dingin dan dia menjawab tidak. Aku mulai curiga ada yang tidak beres dengan badanku. Tapi lagi-lagi aku bandel, mengabaikannya dan tidak menganggap itu sebagai suatu penyakit. Aku pikir, paling-paling cuma masuk angin, ntar juga sembuh. Dan lagi, aku malah minum vitamin C. Aku juga tidak mau bilang pada ibu dan ayah dengan dua alasan, yang pertama takut dimarahi karena memang aku nyaris tidak bisa menjaga badan dan makan buah, dan yang kedua, karena takut tidak boleh ikut pesantren. hhaa -___-"

Tetapi semakin siang aku semakin tidak bisa menyembunyikan lagi. Aku muntah di depan ibu daaannn ketauan lah -__-"
Beruntung karena aku masih diijinkan pesantren dengan dibekali obat penurun demam dan minyak angin. Aku pun berangkat.Aku menjalani hari-hari di pesantren dengan kondisi badan yang benar-benar lemah. Aku baru pertama kali merasa selemah itu, bahkan aku beberapa nyaris terjatuh ketika menaiki anak tangga. Untunglah saat itu ada Ayy2 yang menangkapku dari belakang dan memegangiku sampai ke atas, jika tidak mungkin aku sudah menggelinding jatuh ke bawah. naudzubillah. Semakin hari badanku semakin panas saat itu. Obat penurun panas yang dibawakan ibu rasanya tidak mempan. Tolak angin yang dibawakan Deffi juga rasanya tidak mempan. Aku mengonsumsi dua obat sekaligus, obat penurun panas dan tolak angin plus membalur hampir semua badanku dengan minyak angin tapi rasanya tidak membantu.  Teman-temanku bilang, saking panasnya, muka aku sampai merah seperti udang rebus. Aku sendiri sudah tidak peduli bagaimana penampilanku saat itu. Hei, tau tidak? Aku tidak mandi selama 3 hari 2 malam di pesantren ! Setelan yang aku gunakan selalu sama. Kaos lengan panjang dilapis jaket dilapis almamater (tapi aku tetap merasa kedinginan, padahal temen-temen di sekitar aku cuma pake kaos lengan pendek plus almamater udah kipas-kipas kegerahan). Aku juga nyaris ga ngaca, meskipun di kamar ada kaca yang gede, tapi rasanya males banget ngaca. Aku hanya ngaca ketika sedang memakai jilbab dan itu pun ngasal banget. 
Selain tidak mandi, aku juga tidak belajar sama sekali. Sejak hari pertama, teman-teman sudah sibuk mempersiapkan materi ceramah yang akan dibawakan saat di kelas pada hari kedua. Aku? 10 menit sebelum kelas berlangsung baru sibuk nyari bahan ceramah, lalu ngebut ngarang-ngarang, menulis point penting isi ceramah daaaaannn 20 menit kemudian nama aku dipanggil di saat aku baru aja ketiduran di kelas. Ya, berhubung posisi dosen duduk di bangku paling belakang, aku yang duduk di rada depan malah tidur waktu temen sekelasku menyampaikan ceramahnya di depan kelas*maafkan aku teman-teman, maklum lagi ga enak body wkwk..
Alhamdulillah, di hari ketiga badanku udah mulai enakan. Masih panas sih, tapi rasanya udah enakan. Meskipun udah rada enakan, tidak berarti aku bisa mengerjakan soal ujian dengan baik. Aku ngisi jawaban ngasal karena memang sudah tidak tau lagi jawabannya apa karena aku tidak belajar. Aku hanya berharap, semoga aku lulus pesantren agar tidak perlu mengulang. Apapun nilainya akan kusyukuri hehe. Pulang dari pesantren aku mandi plus keramas. Ahhh segaar ! Dan sorenya, badanku kembali panas. Akhirnya mau tidak mau, aku ke dokter. Sang dokter memberi obat dan menawarkan aku untuk cek darah, karena curiga aku terkena tipus atau demam berdarah.Tapi akhirnya aku memutuskan untuk cek darah besok, dengan harapan barangkali demamku akan turun malam ini.

Okee, sampai keesokan harinya ternyata demamnya tidak juga turun. Akhirnya aku pun cek darah. Dua jam kemudian hasilnya keluar dan menyatakan bahwa aku positif demam berdarah disertai gejala tipus. Appaa? Aku shock bukan kepalang karena ngeborong dua sekaligus. Dokter mengijinkan aku untuk tidak dirawat di rumah sakit, dengan catatan, aku harus banyak minum dan kembali besok untuk cek darah lagi. Jika besok trombositku tidak mengalami kenaikan, maka aku harus dirawat di rumah sakit. Aku pun setuju. Pulangnya, ayah membelikanku ini itu, termasuk sari kurma yang kata banyak orang bermanfaat untuk menaikkan trombosit. Di rumah, aku minum banyak air putih sampai-sampai aku mual dan rasanya ingin muntah saking kembungnya. Aku juga bolak-balik kamar mandi nyaris satu jam sekali.

Besoknya, aku kembali cek darah dan berharap besar hasilnya tidak mengharuskan aku untuk dirawat di rumah sakit. Dan ternyata, trombositnya malah turun.Itu artinya aku harus dirawat di rumah sakit, tidak ada tawar menawar lagi. Singkat cerita, aku sudah sampai di rumah sakit Al Islam, kamar 407. Untuk pertama kalinya aku diinfus, di tangan sebelah kanan.Jadi, tangan kananku otomatis tidak bisa bekerja banyak.Sorenya, aku kedatangan tamu. Ada Deffi, Anggi, Fajri, Intan, Lita, Laras dan Desty menjengukku. Senangnyaa, rasanya mereka cukup menghibur. Dan keesokan harinya Aci bersama mas Dika datang juga.. Waahh.. Terimakasih semuanya. Love you much :*

Hari keempat kak Anis datang dan langsung diberikan tugas menemaniku satu malam hehe.. Dan hari kelimanya, saudara-saudaraku di Jakarta datang menjenguk. Mereka datang tanpa bilang-bilang dulu (katanya sih mau surprise haha). Ada empat keluarga, berada dalam dua mobil berdesak-desakkan datang ke Bandung. Huwaa, sungguh terharu :')

Terlepas dari segala bentuk perhatian orang-orang di sekelilingku, berada di rumah sakit itu rasanyaaa.. tidak enak. Benar-benar tidak enak. Aku sempat beberapa kali ingin menangis. Sakit itu benar-benar tidak enak dan disitu aku merasakan bahwa nikmat sehat begitu berharga. Ketika sakit, makan pun (suatu kegiatan yang tadinya sangat aku sukai) adalah sebuah perjuangan. Aku harus berjuang memasukkan makanan (yang sama sekali tidak ada rasanya, menurutku) ke dalam mulut, mengunyahnya dan berusaha mempertahankan makanan itu agar tetap aman di perutku sekalipun rasanya muaaallll sekali dan ingin muntah. Bicara tentang makanan, hmm... Rasanya apa yang tidak aku suka ada disana. Pertama, aku tidak suka nasi lembek dan disana aku harus makan nasi tim (nasi tapi lembeeekk banget). Kedua, aku tidak suka nasi yang terlalu banyak kuah, dan disana selalu ada kuah (bayangkan, nasi udah lembek dikasih kuah. huaaa ). Ketiga, bagiku makanan yang enak adalah makanan yang ada rasa pedas atau asinnya, dan disana keduanya tidak ada.. Yang ada yaa ga ada rasaa.. Aku kemudian berpikir, "Kenapa makanan yang ga aku suka pada ada disini? Cuma kurang satu, strawberry..". Dan kau tau apaaa... Di suatu sore ada potongan strawberry di atas snack yang harus aku makan. Tidaaakkkk, lengkap sudah :((
Rasanya tersiksa sekali. Setiap makan, aku berusaha menghibur diri dengan membayangkan dan berkata pada diriku sendiri bahwa makanan yang masuk ke mulutku itu adalah bakso, nasi goreng, ayam tulang lunak atau apalah itu yang bisa membuatku bergairah untuk makan.Dan itu sedikit membantu ternyata. wkwk..

Itu soal makan. Hal lain yang membuatku paling tersiksa adalah setiap kali ke kamar mandi, baik buang air kecil ataupun besar. Aku kesulitan menggunakan satu tangan, yaitu tangan kiri di kamar mandi. Percaya tidak setiap kali buang air besar di kamar mandi aku ingin nangis karena kerepotan menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanan masih terhubung selang infus (baru nyadar ternyata aku tuh cengeng banget hheu). Aku juga harus menjaga tangan kananku agar tidak terlalu banyak gerakan karena jika tidak, darah akan mengalir naik ke selang infus. Dan jika sudah begitu, aku akan panik bukan kepalang karena merinding ngeliat darah.. Oiya, di hari keempat untuk pertama kalinya aku menggunakan pispot. Ini atas saran suster, karena melihat tensiku yang seringkali naik turun. Suster bilang mungkin karena aku kecapean bolak-balik hampir setiap dua jam sekali buang air kecil ke kamar mandi. Jadi aku tidak boleh terlalu banyak aktivitas agar tensiku stabil. Okee aku nurut :(

Aku pikir mungkin aku hanya perlu dirawat sekitar 3 hari.Tapi ternyata hingga hari ketiga di rumah sakit justru itu adalah masa-masa trombositku terus turun dan turun hingga mencapai angka 40.000. Haahh, kalau diingat-ingat saat itu rasanya bosan sekali. Aku benar-benar tidak betah, ingin cepet-cepet sehat dan pulang ke rumah dan bisa kembali beredar di kampus. Apalagi aku meninggalkan tugas Kapsel yang seharusnya saat itu sudah mulai aku kerjakan bersama Anggi dan Laras. Maafkan teman teman :(

Melihat kondisiku demikian, ayah dan kak anis pun mencari daun ubi jalar, yang kata banyak orang cukup ampuh untuk menaikkan trombosit. Akhirnya dapat. Ayah bahkan harus mencari daun itu di kebun milik orang di daerah Caringin Tilu. Makasih ayah, makasih kakak ^^
Daun ubi jalar itu direbus, dan air rebusannya aku minum. Keesokannya, trombositku naik. Wallahu'alam itu karena apa. Apakah karena sari kurma, karena rebusan duan ubi jalar, atau karena memang sudah waktunya tapi yang jelas ini karena ijin Allah.. Terimakasih Allah.. :)

Di hari keenam aku diijinkan pulang. Alhamdulillahi Robbil 'Alaamiin.. Rasanya senaaaaaaanggg bukan kepalang ! Rumah sendiri itu benar-benar home sweet home yaa.. Walaupun rumahku tidak memakai AC seperti di rumah sakit, tapi rasanya jauhhhh lebih enak dan nyamaan rumah sendiri.
Hmm.. Ini harus menjadi pelajaran untukku. Aku akui, daya tahan tubuhku memang lemah. Aku termasuk orang yang gampang terkena penyakit, seperti contoh kecilnya saja sakit batuk dan pilek. Berada di dekat orang yang sedang batuk atau pilek selama beberapa jam saja bisa membuatku ketularan. Itu menandakan daya tahan tubuhku yang memang lemah. Ini diperparah juga oleh kemalasanku berolahraga. Dalam sebulan, aku olahraga satu kali aja itu sudah merupakan suatu keajaiban*haha, dasar males banget -___-"
Selain itu aku juga males minum susu, males makan buah sekalipun kedua hal itu selalu tersedia. Ibu sering beli susu dan sampe kadaluarsa susunya belum habis juga karena aku males minum. Begitu juga dengan buah. Ayah sering beli buah, sampe buahnya mengkertu saking kelamaan disimpen di kulkas. Mungkin Allah ingin menegurku, karena mungkin aku terlalu sombong. Sudah dikasih rejeki bisa beli susu dan buah tapi aku malah hambur-hambur tidak memakannya. Padahal mungkin di luar sana banyak orang yang ingin membeli susu tapi tidak mampu. Sementara aku sudah bisa beli susu tapi ga diminum. Astaghfirullah. Karena itu lah, mulai saat ini aku ingin rajin minum susu, rajin makan buah, dan hmmm.. minimal sebulan dua kali olahraga, apapun itu. Jalan kaki, main bulutangkis, naik sepeda atau apalah, yang penting gerak badan hehe. Siapapun kamu, kalau kenal aku. Kalau aku lupa dan mulai mangkir sama niatku ini, maka tolong ingatkan aku, bahwa aku pernah merasakan sakit yang tidak enak seperti kemarin dan pernah berjanji untuk berusaha menjaga badan.
Terimakasih atas bantuannya.
:)

delapanaprilduaribuduabelas