Kamis, 14 April 2016

How I Lived My Life in Jakarta

Apa yang teringat olehmu ketika mendengar kata ini? Macet? Penuh? Sesak? dan berbagai kata dengan konotasi negatif lainnya. Tapi nyatanya, Jakarta tidak seburuk itu. Sebagian besar penilaian orang benar, sebagian lagi keliru. Sampai dengan aku menulis ini, aku tinggal di Jakarta selama 7 tahun, yang terbagi menjadi dua waktu : umur 0-4 tahun dan umur 14-17 tahun.

Tidak banyak hal yang bisa kuingat selama tinggal di Jakarta saat usiaku masih 0-4 tahun. Yang aku tahu, kata ibuku, aku dilahirkan di daerah Jakarta Pusat, di sebuah rumah sakit yang masih ada hingga kini. Kemudian aku tinggal di Bekasi (ini bukan Jakarta sih hehe) sampai  usia 4 tahun, sebelum akhirnya keluarga kami pindah ke Padang.

Aku mengingat cukup banyak hal di Bekasi ini, tepatnya kami tinggal di Harapan Jaya. Aku punya teman main, sekaligus saudara jauh. Namanya Meyda. Hingga duduk di bangku SD dan awal SMP, kami masih berkirim surat dan bertukar kabar. Surat menyurat saat itu masih sangat hits karena belum ada SMS apalagi BBM/WA hehehe.

Kembali lagi mengenai kehidupanku di Bekasi. Seingatku, aku tidak punya teman lain yang seumuran selain Meyda. Oh ya, sama Reynas, dia saudara kembar Meyda. Jadi, aku juga sering bermain bersama teman-teman kakakku, yang lebih tua dariku. Hal lain yang aku ingat saat itu adalah, ibu, ayah, kak  anis dan aku pergi ke Taman Mini, naik kereta gantung. Sampai saat ini fotonya masih ada di album foto hehe. Lalu kami ke monas. Monas yang dulu beda sekali dengan monas yang sekarang. Dulu masih memungkinkan kita untuk duduk di rumput sekitaran Monas, karena tidak terlalu ramai dan masih bersih. Kami juga duduk sambil menikmati air mancur yang ada di sekitar monas, aku lupa apa namanya hehe.

Kemudian aku pindah ke Sumatera dan hidup disana selama kurang lebih 11 tahun. Sampai akhirnya kak Anis kuliah di Jakarta dan aku ikut tinggal bersamanya karena berbagai pertimbangan. Aku memulai SMA di Jakarta Selatan, tepatnya SMAN 34 Jaksel. Ini adalah sekolah negeri pertama bagiku, tapi semoga bukan jadi yang satu-satunya hhee..

Bergabung dengan sekolah negeri di Jakarta membuat aku senang, ada kebanggaan tersendiri karena aku dari daerah bisa masuk ke sekolah ini. Bukannya sombong hehe, tapi ini adalah salah satu SMA negeri favorite yang ada di Jakarta dan kursi yang disediakan bagi pelamar dari SMA luar Jakarta hanya mendapatkan jatah sangat sedikit tiap tahunnya.  Dari 15 orang yang diterima, aku berada di urutan 14, nyaris terlempar hehe.

Di sekolah ini ada banyak sekali ekskul dan organisasi. Aku sudah berenacana akan ikut beberapa diantaranya. Kemudian aku memutuskan ikut organisasi Rohis dan ekskul Taekwondo secara resmi, serta beberapa organisasi dan ekskul lain secara cabutan. Fasilitas disini juga sangat lengkap. Suasananya enak, bersih, rapi dan sejuk karena ada banyak pohon dan tanaman yang terawat disini. Ruang kelas yang rapih dan bersih, dilengkapi dengan AC. Hampir di sebrerang pintu kelas ada wastafel. Ada mesjid yang luas dan bersih, lapangan yang luas, perpustakaan yang sangat lengkap. Oh iya, aku kaget waktu pertama ke perpus dan melihat ada banyak sekali buku mulai dari tahun sebelum aku lahir sampai tahun 2000an ada, dan tidak hanya buku pelajaran atau sastra saja yang ada disana, tapi mereka juga berlangganan berbagai koran dan majalah seperti Trubus, National Geography dan Gadis. Ada majalah gadis disini ! Bagi sebagian besar orang yang terbiasa hidup dan sekolah di Jakarta, mungkin ini biasa saja. Tapi percayalah ini semua luar biasa bagiku. Aku seperti orang udik yang baru datang ke kota haha.

Segala fasilitas yang ada disini ternyata harus dibayar mahal. Aku baru tahu kalau SMA negeri disini ternyata lebih mahal dari sekolah swasta yang ada di Medan. Padahal aku sekolah di SD dan SMP swasta yang bisa dibilang cukup bagus dan lumayan mahal, tapi tidak semahal ini (ini bukan buat nyombong, beneran deh. Aku hanya ingin bercerita mengenai perbandingan biaya pendidikan di ibukota dan sumatera). Bagaimana dengan orang-orangnya? Kompetitif. Mereka adalah orang-orang yang bersaing dan berjuang. Mereka adalah tipe yang belajr keras. Meskipun mereka senang belajar, tapi kehidupan social mereka sangat baik. Mereka tetap bisa berkumpul bersama teman, ikut ekstrakulikuler yang banyak dan kehidupan organisasi yang baik. Mereka juga pintar merawat diri. Singkatnya, mereka good looking, gaul, aktif organisasi, tapi pintar. Aku heran bagaimana mereka bisa melakukan itu semua dalam satu waktu. Tapi melalui mereka, aku sadar akan satu hal bahwa yang berprestasi itu tidak harus ber style kutubuku atau jauh dari kehidupan social dan tidak semua yang suka main itu tidak memiliki prestasi.

Jakarta itu keras, memang betul. Meskipun tidak sekeras yang dibayangkan orang-orang. Di Jakarta, kebanyakan teman yang aku temui seperti itu, jadi aku belajar banyak dari mereka. Meskipun mereka rajin dan pintar, tapi mereka tidak pelit berbagi ilmu dan tidak malu untuk bertanya. Jadi kalo di sekolah, kami saling mengajarkan satu sama lain. Tidak mau menjadi pintar sendiri, maka dari itu saling dukung. Selain itu, mereka juga cukup professional membagi waktu. Kalo di kelas, mereka belajar serius, tapi di luar mereka juga main dengan serius. Bahkan ini juga berlaku bagi mereka yang ikut geng tertentu di Jakarta loh, yang notabene nya geng itu banyak dicap negative, tapi mereka cukup berprestasi di sekolah. Lantas dimana letak kerasnya? Baiklah akan aku ceritakan satu per satu, setidaknya ini yang aku rasakan yaa. Bagi teman-teman yang tinggal di Jakarta juga, bisa jadi punya persepsi yang sama denganku, bisa jadi juga berbeda.

Kehidupan Jakarta yang keras dimulai dari persaingan yang ketat. Dalam bidang apa? Nyaris di semua bidang. Dalam prestasi sekolah, pendidikan luar sekolah, ekskul, organisasi, mencari rezeki. Nyaris di sema aspek kehidupan. Kalo kita ga struggle, yaa kita yang terlempar. Kalo kita struggle, kisa menjadi pribadi yang kuat. Tinggal di Jakarta, kita seperti besi yang sedang ditempa. Kalo kita ga kuat, kita akan tertinggal, kalo kuat yaa kita akan jadi hebat. Pergerakan kehidupan di Jakarta sangat cepat dan dinamis. Butuh niat dan effort yang kuat untuk tinggal disini.

Banyak kekagetan yang kurasakan selama satu semester pertama aku menjalani hidup di Jakarta. Ini pertama kalinya aku tinggal tanpa orang tua. Saat itu aku dan kak anis tinggal di rumah Uni Feni. Mereka baik, sangat baik. Namun bagaimana pun, hidup tidak dengan orang tua pasti rasanya berbeda. Aku tidak pernah mencuci pakaianku sendiri, kecuali pakaian dalam. Kini aku harus mencuci pakaianku sendiri, tanpa mesin cuci. Meskipun di rumah Uni Feni ada bibi yang bantu, tapi aku cukup tahu diri tidak mengandalkan bibi. Tapi untungnya, selama di Medan aku bukan termasuk anak yang tidak tahu bekerja. Sejak SMP aku terbiasa melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci piring setiap malam, sapu rumah setiap pagi dan sore, siram tanaman dan buang sampah dapur setiap sore, ngepel seminggu sekali, setrika pakaian satu keluarga (kecuali baju kerja ayah) seminggu sekali dan membersihkan kaca jendela rumah sebulan sekali. Percaya lah, tugas-tugas yang diberikan ibu selama aku SMP sangat berguna saat aku hidup di Jakarta. Meski aku tidak ngepel rumah, tidak setrika baju, tidak membersihkan kaca jendela dan tidak menyiram tanaman hehe.

Oke tinggalkan urusan pekerjaan rumah. Kita lanjut ke kekagetanku yang selanjutnya adalah : biasanya aku pergi sekolah dianter ayah, sekalian ayah berangkat kerja. Tapi selama di sekolah di Jakarta, aku naik angkot. Sebenarnya bukan naik angkot yang menjadi masalahnya, karena selama SMP pun aku naik angkot tiap pulang. Masalahnya adalah jalanan Jakarta yang selalu macet plus angkotnya sering ngetem lamaaa banget. Jalanan Jakarta yang macet, ditambah lagi sekolahku di belakang pasar (yang kalo pagi macetnya bisa 3 kali lipat karena harus lewat pasar). Jadi biasanya aku berangkat dari rumah jam 5.30, sampe simpang UPN (sebelum pasar pondok labu) itu jam 6.20 an. Dari UPN ke sekolah harus jalan kaki, karena kalo nunggu angkot sampe simpang sekolah, itu bisa jam 7.15 baru nyampe ahaha. Akhirnya mau ga mau ya harus jalan, meskipun jauuuuh.. tapi ga kerasa lo, karena apa? Karena jalannya rame-rame sama yang lain. Bukan, bukan kami berangkat bareng, tapi banyak anak sekolah dari arah yang sama yang juga harus jalan kaki demi ga kena macet. Jadi jalanan penuh sama anak sekolah jalan wkwk..

Aku masuk jam 6.45, kalau terlambat pintu gerbang sekolah dikunci. Mau tidak mau harus pulang. Istilahnya : dipulangkan. Aku pernah dipulangkan 2 kali. Yang pertama karena terlambar 5 menit, yang kedua ketika aku lari dan sekitar 5 meter dari gerbang, ketika itu pula gerbang ditutup satpam. Pintu gerbang ditutup di depan mataku. Tidak ada kata maaf, aturan sekolah ini sangat ketat. Ga ada ampun dan ga ada pilihan lain, aku pulang.

Itu dari segi macetnya Jakarta. Sekarang kekagetan aku selanjutnya adalah masalah bersosialisasi dengan teman. Karakter mereka sangat berbeda dengan karakter teman-temanku sebelumnya, seperti yang aku jelaskan sebelumnya. Sebenarnya aku sulit masuk ke dalam kehidupan sosial lebih kepada rasa minder yang kuciptakan sendiri. Aku merasa kaget, berbeda, dan merasa mereka jauh ada di atasku sehingga aku menjadi sulit untuk membaur. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai berpikir dewasa dan Alhamdulillah aku tidak memiliki kendala berarti dalam masalah pertemanan.

Yang terakhir dan paling berat aku rasakan adalah mengejar prestasi. Aku merasa sangat kesulitan berprestasi di Jakarta, khususnya di sekolahku dulu. Aku merasa nilai bagusku selama SMP ga ada apa-apanya dibandingkan teman-temanku. Mereka sangat pintar dan cepat menangkap pelajaran yang disampaikan guru, meski kadang sambil ngobrol satu sama lain. Mereka tampak nyantai dan gaul, tapi ketika ujian nilai mereka bagus-bagus. Aku heran dan berusaha mencari celah, apa rahasia mereka? saat di kelas aku berusaha berkonsentrasi penuh atas apa yang disampaikan guru, di rumah berusaha keras belajar, tugas-tugas kuselesaikan semaksimal mungkin, dan ujian kukerjakan dengan serius, tapi hasilnya tetap saja remedial. Sakitnya tuh disini ahhaha. Semakin aku ngotot berusaha, semakin jelek nilai yang kuperoleh. Setiap dapat nilai jelek, aku suka nangis di rumah, bahkan di kamar mandi sekolah! Kalo dapet nilai jelek, suka inget ibu sama ayah yang jauh di Medan, udah bayarin aku sekolah mahal dan jauh, tapi nilainya butut. Sedih banget. Semakin aku ngotot ingin nilai bagus, semakin jauh dari harapan. Sampai akhirnya aku pasrah dan let it flow, aku banyak belajar dari teman-teman. Alhamdulillah mereka pintar tapi tidak pelit berbagi ilmu, bahkan mengajarkan bagian-bagian yang tidak kumengerti. Mereka solid, itu yang aku suka. Bahkan saat mau UN kelas 3, mereka berinisiatif membuat kelas belajar satu kelas (di luar les resmi yang kami ikuti) dan murid-murid yang pintar bergantian menjadi guru mengajar di kelas.

1. Perbedaan cara bicara, bahasa dan istilah yang digunakan disini sangat berbeda dengan Medan. Aku pernah keceplosan salah ngomong. Waktu itu kan aku dan teman-temanku lagi ngerjain PR. Nah aku udah selesai ngerjain, ditanya sama temenku : “udah selesai?” dan aku jawab : “udah. Kalian udah siap?” langsung zzzzzzzzzz krik krikkk. Mereka berpandangan dan kebingungan, kemudian salah satu dari mereka nanya : “siap mau kemana??” Oalaaah rupanya aku salah ngomong. Kalo di Medan, kata “siap” bisa dipakai untuk “selesai mengerjakan sesuatu” atau “beres ngapain..”
2. Semester pertama kelas 1, aku pernah rangking 32 dari 37 orang. Ini malu-maluin banget, secara pas SMP aku hampir selalu rangking 3 besar wkwkw. Waktu itu aku hopeless bisa masuk IPA, meski akhirnya pas masuk IPA aku keblinger sendiri sama Fisika hahah.
3. Di Jakarta, kita berkejaran dengan waktu. missal, aku harus berangkat dari rumah jam 5.30 agar sampai UPN jam 6.20. kalo aku telat berangkat dari rumah 5 menit aja (missal aku berangkat dari rumah 5.35), maka sampe UPN bukan telat 5 tapi bisa 15-20 menit. Jadi sampe UPN bisa jam 6.40. wkwkwk. Macet di Jakarta memang parah banget. Kita bisa tidur di jalan saking lamanya.
4. Meskipun berat, Jakarta menempa kita menjadi pribadi yang lebih tangguh. Meski dulu sering mengeluh berat, terkadang saat ini timbul keinginan aku untuk kembali ke Jakarta, kepikiran untuk kerja disana dan ngekos, hehe. tapi karena suatu pertimbangan, sepertinya tidak memungkinkan aku untuk tinggal disana dalam waktu dekat. Heh.
5. Buat teman-teman perantau yang pernah/sedang hidup di Jakarta, bagaimana apakah merasakan hal yang sama denganku?hehehe.
empatbelasaprilduaribuenambelas